Ini Bukan Masalah Intoleransi Apalagi Tindak Kejahatan

Saya adalah seorang guru. Sudah lebih 16 tahun saya mengajar, sampai saat ini. Yang saya didik adalah anak-anak usia SMP sampai SLTA. Usia pancaroba, peralihan dari kanak-kanak ke remaja menuju dewasa. Dan saat ini, bersama rekan para pendidik, kami mengelola lembaga pendidikan dengan hampir 2000 peserta didik, dari TK sampai sekolah tinggi. Tidaklah mudah pekerjaan menjadi seorang guru itu. Apalagi untuk generasi millenial saat ini. Perkembangan zaman dan teknologi informasi telah membuat mereka memiliki karakter tersendiri. Guru harus mempersiapkan diri lebih maksimal lagi dalam mendidik dan menghadapi mereka. Sebagai seorang guru, saya harus menyiapkan bahan ajar. Mengevaluasi capaian pembelajaran, membuat soal ujian dan memeriksa hasilnya. Memberikan nilai dan mengulangi anak yang belum tuntas. Disamping itu, setiap kali hadir dan tampil di depan kelas, mesti ada nilai dan karakter yang harus saya tanamkan kepada mereka. Itu semua saya lakukan sampai saat ini, walaupun saya juga Wa

Beginilah Cara Pembelajaran Alquran di Surau di Minangkabau

Sejak Ulama kita kembali dari pelajaran-pelajarannya di pertengahan abad 19, di antaranya setelah menuntut ilmu dari guru mereka di tanah haram di Makkah al Mukarramah kepada Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy (1852-1916), anak pisang orang Kotogadang IV Koto dan putra terbaik dari Balai Gurah IV Angkek, Kabupaten Agam, yang pada pertengahan abad 19 itu telah menjadi guru/imam di Masjidil Haram. Di antara murid-muridnya yang banyak itu antara lain Syech Ibrahim Moesa Parabek, Syech Muhammad Djamil Djambek, Syekh Thahir Djalaluddin, dan banyak lainnya yang tersebar di seluruh Nusantara, Tanah Semenanjung, Pattani (Thailand) dan juga di Sulu Mindanao, Filipina Selatan.

Para murid tersebut selain membawa ilmu pengetahuan agama yang luas, tentang fiqh dan juga ilmu tafsir hadist dan sebagainya, dengan penmgetahuan dasar yang utama, bahwa mereka adalah para murattal Alquran. 

Karena tidaklah mungkin untuk mempelajari agama Islam dengan sesungguhnya tanpa kemampuan membaca Alquran secara murattal, tahu isi, tahu makna sebagai sumber hukum.

Malah Hamka di dalam kitab Sejarah Umat Islam, Edisi Baru, cet. kelima, Pustaka Nasional Pte.Ltd. Singapore, ISBN:9971-77-326-0,hal.670-671, menyebutkan bahwa Agama Islam sudah ada di pantai barat Sumatera pada tahun 684 M, seperti apa yang diungkap oleh Sir Thomas Arnold, di dalam penelitian W. P. Groeneveld, "Notes on the Malay Archipelago and Malacca,compiled from Chinese sources” (Vert.Bataviasche Genootschap van K. en W. Deel ...1880). 

Sebenarnya sejak Islam itu mulai diajarkan, para gurunya atau ulamanya sudah semestinya murattal Alquran. 

Istimewa memang. 

Langgam murattal di Minangkabau memang tidak dirujuk kepada nada para Syaikh seperti lazimnya sekarang (Sudais,Hudzaify,Yusuf, dll) akan tetapi disesuai dengan nada yang akrab dengan pendengaran masyarakat setempat. 

Sehingga lahir nada yang lebih Melayu bukan Arabic. 

Akan tetapi makharijal huruf yang menentukan tajwid bacaan tetap sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan Alquran yang mutawatir, seperti ditetapkan oleh Qiraat yang tujuh. 

Pengembangan murattal seperti itu juga berkembang di tanah semenanjung, dan juga pelajaran baca Alquran di Kalimantan, Moro (Filipina Selatan) dan Pattani serta Kelantan umumnya memperoleh guru dari Minangkabau jua adanya.

Cara pembelajaran Alquran di surau di Minangkabau, pertama kali diajarkan makharijal huruf, membaca sesuai yang di ulangkan oleh muallim (ulama,tuan guru), 

seperti Alif lan syai-un 'alaiha..ba wahidun mmin tahtiha ... dan seterusnya.

Kemudian dilanjutkan ketingkat lebih tinggi dengan membaca alif duo di ateh an..baa duo di bawah bin..dan seterusnya. 

Setelah itu, membaca ayat-ayat pendek di mulai dari fatihah, surat-surat juz Amma, sampai kepada murattal alquran satu mushaf itu. 

Pengajian di surau dipimpin oleh muallim (tuan guru) yang disegani, dibantu guru-guru bantu, yang tidak lain adalah anak muridnya yang sudah sampai pengajian setingkat di atasnya. 

Dengan demikian terjadi transformasi murattal dari muallim kepada murid secara berjenjang. 

Sekaligus pengulangan bagi murid-murid yang telah sampai pada tingkatan setingkat di atas.

Dengan sistim ini terjadillah hubungan timbal balik yang saling simbiose antara tingkat-tingkat pengajian, dimana pada prinsipnya bahwa tingkat yang di atas tidak pernah melupakan tingkat di bawahnya.

Ada keharusan mengulangi pengajian tingkat di bawah dengan menjadi guru bantu, atau disebut juga dengan guru tua yakni guru yang setingkat lebih tua dari murid yang dihadapinya. Guru tua itu telah mendapatkan ilmu dan pembelajaran sebelumnya dari muallim. Semua bacaan harus dilafaz dengan jahar atau keras, sehingga dari surau terdengar gema murattal di tengah-tengah pemukiman kaum di mana surau itu berdiri. 

Walau di masa itu belum ada mic pengeras suara, namun bacaan murid murattal telah di simak dari mana saja.

Selain surau berfungsi sebagai tempat belajar murattal, maka surau juga menjadi tempat shalat (mushalla) layaknya sekarang bagi kaum yang tingal di keliling surau itu. 

Di samping itu surau juga dijadikan tempat pembinaan watak anak nagari, tidak seperti keberadaan surau di tanah semenanjung pada saat sekarang ini, seperti ditemui di perhentian-perhentian atau stasiun bus di PUDU umpamanya. 

Surau berfungsi sebagai tempat pengajaran budi akhlak, dan menurunkan pengetahuan tentang adat kebiasaan sesuai dengan bimbingan agama. 

Untuk menyelidiki selanjutnya tentang peranan surau di Minangkabau silahkan buka laman http://www.scribd.com/Buya%20Masoed%20Abidin

Suara dan langgam (lahjah) muallim di dalam mengajarkan Alquran sangat dominan membentuk langgam murattal bagi kampung dan nagari. 

Karena itu, manakala kita mendengar seorang murid murattal maka kita dapat tahu dengan segera dari siapa murid itu belajar. 

Biasanya nada yang dipakai guru (muallim) adalah yang akrab dengan lingkungannya. Karena itu murattal menjadi kebiasaan bukan menjadi paksaan.

Pengajian surau dilakukan melingkari guru tua secara halaqoh (5 atau 6 anak) dipimpin oleh satu guru tua. 

Tentu saja satu surau ada beberapa kelompok halaqah. 

Muallim (tuan guru) mengawasi kalau ada yang salah dari makhrij maupun tajweed dari anak-anak itu semua. 

Di sini kelebihan muallim, tajam pendengaran membetulkanr semua kesalahan murid dan juga kesilapan dari guru tua dalam member pengulangan-pengulangan. 

Hal ini amat dimungkinkan karena hafalan atau tingkat huffadz dari sang muallim sangat memadai dan juga memiliki kearifan di dalam murattal.

Irama murattal yang lazim dalam sebuah surau, hampir senada dengan murattal sang muallim. Ada satu dua yang berbeda karena aanleg (pembawaan seseorang), maka oleh sang muallim tidak dipermasalahkan. 

Pokok terpenting yang mesti dijaga adalah makharijal hurufnya dan tajweednya tidak boleh salah.

Umumnya murid yang sudah berada di tingkat tinggi, yakni hampir menamatkan Alquran, akan disuruh menghafal dengan baik. 

Ketika itu murid yang sudah hafal disyahadah (diangkat) menjadi KARI (Qari yakni seorang murid yang sudah pintar membaca Alquran. 

Lazimnya di masa itu,seorang belum akan merantau sebelum menjadi kari di kampungnya. Maka janganlah heran bila di masa-masa itu para perantau muda dari Minangkabau dapat menjadi IMAM atau GURU ALQURAN di perantauan di seluruh tanah perantauannya. Kkarena mereka pergi merantau sudah punya bekal . 

Di antara bekal yang wajib dari surau itu adalah antara lain ; 
  • PANDAI MENGAJI,
  • PANDAI MEMASAK,
  • PANDAI MENJAHIT,
  • PANDAI BERPANTUN ADAT,
  • PANDAI BERPIDATO, 
  • PANDAI BERDEBAT (DIALOG BERTUKAR HUJJAH) dan
  • PANDAI BERSILAT ... 
Pada masa sekarang, kepandaian-kepandaian itu sudah hampir atau malah sudah hilang sama sekali. Kepandaian yang amat berguna di dalam mengharungi kehidupan di rantau atau di ranah itu, kini sudah mulai punah. 

Keadaan itu disebabkan karena pendidikan sudah sangat klasikal, dengan sasaran utama hanya mengejar ilmu scholar untuk mencari hidup dan memenuhi kebutuhan hidup semata.

Padahal pendidikan berbasis surau telah menghasilkan juga para pemuka ternama, seperti Tan Malaka, Hamka, Agus Salim, Natsir, AR. Sutan Mansur, Hamka dan ribuan yang berkaliber kampung, yang manakala mereka merantau tidak pernah merasa takut karena mereka punya bekal dunia dan akhirat. 

Jika karena batasan status keluarga atau kesibukan dalam satu keluarga, umumnya ninik mamak, atau pimpinan keluarga akan mengundang muallim datang ke rumah mengajar anak-kemenakannya mengaji Alquran. 

Untuk anak-anak perempuan biasa didatangkan seorang ustadzah. Dasar pendidikan pada awalnya membaca atau murattal Alquran. 

Kemudian di tutup dengan tafsir ringan, mengambil intisari dari apa yang dibaca.

Akhirnya terjadi transformasi pembelajaran agama yang merata bagi semua anak nagari di kampung itu. 

Contoh terdekat di tahun 1950-1960 adalah di Kotogadang, tempat asal muasal dari Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy itu. Sebenarnya sejak abad 19 sampai pertengahan abad 20, walaupun hampir semua penduduk Kotogadang dapat dikata mengerti dan berkomunikasi dengan bahasa Belanda (Hollandsche spreken), tetapi tidak seorang pun dari anak nagarinya memakai nama kecuali dari nama yang ditemui di dalam Alquran jua adanya. 

Ini adalah bukti nyata, dari berbuahnya pembelajaran murattal Alquran bagi anak nagari di Kotogadang itu. 

Suatu pembelajaran murattal yang tidak semata terpaku kepada rujukan kepada para Syaikh dari Timur Tengah atau Pakistan semata. 

Pembelajaran murattal telah membentuk watak dan jati diri penduduk satu negeri, karena pengajaran agama melalui surau disesuaikan dengan adat istiadat anak nagari, sehingga akhirnya terbentuklah adat yang sesuai dengan ajaran Islam. 

Ketika pembelajaran agama Islam tidak mengindahkan adat kebiasaan anak nagari, maka yang akan terjadi adalah ketidakmauan anak nagari mempelajarinya, atau menjadi agama sebagai pengetahuan semata dan tidak mempengaruhi kehidupan dan pergaulan sehari-hari anak nagari itu. 

Apakah tradisi belajar mengajar dalam pembelajaran murattal seperti masa dulu itu masih berlanjut hingga kini di Minangkabau?

Sayang sekali proses belajar mengajar ala surau itu sekarang di seluruh bumi Minangkabau hampir di kata sudah tidak bersua lagi. 

Ada beberapa problematika dakwah yang mendorong kepada tidak berfungsinya surau. Di antaranya yang paling menentukan adalah kurangnya pembinaan dari muallim yang bertumpu kepada surau. 

Penyebab lainnya adalah dikarenakan berpindah sistim pendidikan informal ke sekolah-sekolah klasikal, dengan diikuti oleh hilang atau melemahnya peranan anak nagari di dalam mempertahankan fungsi surau dan kaum. 

Melemahnya peranan anak nagari, lebih disebabkan oleh menipisnya pengertian dan pemahaman tentang nilai-nilai adat istiadat Minangkabau. 

Hal itu juga disebabkan karena masalah adat lebih banyak hanya mengambil hubungan seremonial semata. 

Yang paling membahayakan adalah lahirnya anggapan bahwa pendidikan surau sudah ketinggalan zaman, di saat acara yang dipertontonkan oleh tivi dan perkembangan informasi ITC dengan deras melanda hingga ke tengah rumah tangga. 

Ketika itu sedang terjadi, kemauan untuk belajar mulai menjadi hilang atau setidaknya memudar. 

Akibat lebih jauh adalah tumbuhnya anak nagari yang instantable di banyak sisi. Inilah yang dapat kita amati dengan kasat mata di saat sekarang ini.

OLEH : BUYA H. MAS’OED ABIDIN dalam Aku Bangga Menjadi Anak Minangkabau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Hukum Adat Minangkabau

Inilah Asal Usul Nama Minangkabau Yang Sebenarnya

Peran dan Fungsi Urang Sumando